Perlu Diagnosa yang Tepat untuk Obati Nilai Tukar Rupiah yang Terus Merosot
Anggota Komisi XI DPR RI, Ahmad Najib Qodratullah dalam Rapat Kerja Komisi XI dengan Gubernur Bank Indonesia di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (24/6/2024). Foto : Mu/Andri
PARLEMENTARIA, Jakarta - Dunia keuangan Indonesia seolah sedang dihantui oleh merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS). Memasuki kuartal II-2024, nilai tukar Amerika mulai merangsek menyentuh Rp16.000 bahkan pada penutupan perdagangan Jumat (21/6/2024), mata uang Rupiah melemah 20 poin atau 0,12% menuju level Rp16.450.
Anggota Komisi XI DPR RI, Ahmad Najib Qodratullah mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kebijakan Bank Indonesia dalam mengelola nilai tukar mata uang nasional. Ia lantas menganalogikannya dengan diagnosa dan pengobatan yang dilakukan dalam dunia kesehatan.
“Kita khawatir, jangan misalkan Bank Indonesia ini salah mendiagnosa. Kalau saya ibaratkan dalam situasi hari ini, karena dengan salah diagnosa tentu akan melahirkan obat yang salah. Intervensi pasar itu selalu sifatnya sesaat dan kita paham betul bahwa kita memiliki cadangan devisa yang sangat terbatas,” kata Najib dalam Rapat Kerja Komisi XI dengan Gubernur Bank Indonesia di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (24/6/2024).
Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional ini mendorong agar Bank Indonesia mengembangkan formulasi kebijakan yang tidak hanya efektif dalam jangka pendek, tetapi juga memiliki daya tahan dan cakupan yang luas. Menurutnya, Bank Indonesia perlu memiliki strategi yang lebih berkelanjutan dan resisten terhadap tekanan eksternal maupun masalah internal, mirip dengan konsep imunisasi yang memberikan kekebalan dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Bank Indonesia perlu mengembangkan formulasi kebijakan yang tidak hanya efektif dalam jangka pendek, tetapi juga memiliki daya tahan dan cakupan yang luas.
Pada kesempatan tersebut, Najib dengan gamblang meminta Bank Indonesia untuk mempertajam diagnosis penyebab terjadinya penguatan Dolar AS terhadap Rupiah. Hal ini lantaran menurutnya, Bank Indonesia kerap mengemukakan hal yang sama saat membahas fluktuasi nilai rupiah.
"Karena kan setiap kali kita melakukan pembahasan tentang ini yang disampaikan selalu itu-itu saja tentang situasi geopolitik, tentang hal-hal yang sama tapi masa 5 tahun kita berjalan seperti ini terus?" tanya anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) tersebut.
Najib lantas membandingkan kondisi saat ini dengan masa pemerintahan BJ Habibie. Dikatakannya bahwa saat itu terjadi krisis dengan kondisi yang dirasa lebih buruk. Tercatat Dolar AS menyentuh titik tertinggi sepanjang masa di level Rp 16.650 pada Juni 1998 dan sudah kembali di bawah Rp.7000 pada medio 1999.
Legislator Dapil Jawa Barat II itu lantas mempertanyakan diagnosa yang dilakukan masa pemerintahan tersebut sehingga dianggap mampu mengembalikan nilai tukar dalam kurun waktu satu tahun.
"Apakah itu diagnosanya sudah tepat kemudian melahirkan obat yang benar? Jangan-jangan begitu ini masih ada hal yang barangkali Bank Indonesia belum secara spesifik mendiagnosa permasalahan kurs rupiah ini," tambahnya.
Najib pun menegaskan bahwa penanganan yang tepat terhadap kurs rupiah saat ini menjadi krusial, terutama jika kita mempertimbangkan dampaknya bagi masa depan pemerintah yang akan datang.
"Saya sangat khawatir dengan kondisi kurs rupiah ini kalau kemudian ini diwariskan kepada pemerintah yang akan datang. Saya ingin memastikan di akhir masa periode ini bahwa seluruh kebijakan Bank Indonesia ini efektif di dalam rangka menyelesaikan permasalahan kurs rupiah," katanya kepada jajaran Bank Indonesia yang hadir. (uc/rdn)